Lantunan
nada-nada indah dari ayat suci Al-Qur’an terdengar begitu jelas dari kamar ku,
suara itu berasal masjid di tengah komplek. Subhanallah. Ayat-ayat suci Allah
memang selalu menenangkan jiwa, mengantar tidur ku malam ini. Alhamdulillah,
setiap malam sebelum beristirahat aku dan juga penghuni komplek selalu di
sajikan dengan lantunan indah ayat-ayat suci Allah, kadang aku juga ikut
berperan jika tidak terlalu lelah dengan aktifitas harianku, namun malam ini,
aku terlalu lelah untuk mengikuti kegiatan masjid karena hari ini kegiatan
organisasi di kampus begitu padat.
Lantunan
nada indah dari handphoneku membuatku mengurungkan niat untuk mengistirahatkan
tubuhku. Rafael. Aku tersenyum tipis dan segera menekan tombol hijau untuk
menyambungkan sambungan telfon yang dikirim oleh Rafael.
“Malam Raf.”
Aku menyapanya. Sapaan yang sesekali ingin ku ganti dengan sapaan
‘Assalamualaikum’ namun aku juga harus menghargainya. Kami berbeda, meskipun
kami memiliki Tuhan yang sama.
“Malam
Kasih.” Balasnya di seberang sana. “Kamu udah shalat isya’?” aku menyukai sifat
Rafael yang satu ini. Dia selalu menanyakan mengenai kewajibanku sebagai
seorang muslimah. Dan jika aku belum melaksanakan hal yang satu itu, Rafael
segera menyuruhku untuk menjalani kewajibanku itu.
“Alhamdulillah
udah. Eh iya. Kamu nggak ke gereja? Besok kan natal.” Saling menghargai dan
saling mengingatkan. Itu lah, rahasia kelanggengan hubungan kami.
“Udah. Baru
pulang. Besok kamu dateng ya. Ada acara natalan di rumah, kumpul-kumpul sama
keluarga.” Untuk kedua kalinya, Rafael mengajakku untuk datang keacara
keluarganya. Tahun lalu, aku sudah menolaknya, rasanya tak enak jika tahun ini
aku kembali menolaknya. Pasalnya saat lebaran lalu, Rafael berkunjung ke rumah.
Aku sering datang ke rumah Rafael
begitupun sebaliknya, namun kami masih merahasiakan hubungan kami dari
keluarga. Keluarga kami sama-sama menentang hubungan berbeda keyakinan. “Jam
berapa?” tanya ku mencoba memastikan.
“Jam satu
siang aku jemput kamu.” Balas Rafael.
“Oke.”
Balasku dengan senyum yang tak mungkin dapat dilihatnya, namun aku percaya
Rafael merasakannya.
“Selamat
malam, Kasih.” Balas Rafael sebelum ia memutuskan sambungan.
“Malam,
Rafael.” Balasku.
Hampir dua
tahun menjalin hubungan diam-diam, terkadang membuatku lelah. Membuatku ingin segera mengakhiri hubungan
ini. Namun, Rafael selalu meyakinkanku, bahwa Tuhan akan menyatukan kami. Dalam
sebuah ‘persamaan’ meskipun kami ‘berbeda’. Aku sering tak yakin dengan hal
itu. Rafael tak mungkin meninggalkan keyakinannya, begitupun denganku, namun
cinta kami terlalu besar sehingga kami tak bisa meninggalkan satu sama lain.
Semoga saja.
Semoga kami bersatu, dalam sebuah persamaan meskipun banyak perbedaan yang ada
di dalam diri kami. ‘God knows we’re worth it”.
***
Hatiku
bergetar tak menentu diikuti dengan detak jantung yang juga tak menentu. Kedua
tanganku dingin. Ya Allah, untuk pertama kalinya aku menghadiri perayaan natal
di keluarga Rafael. Dan pasti, semua keluarga Rafael berkumpul, tanpa
terkecuali.
“Kamu santai
aja Sih. Kan Mama sama Papa juga udah tahu kamu.” Rafael mencoba menenangkanku.
Yah, memang orang tua Rafael memang sudah mengenalku, tapi yang mereka tahu aku
adalah sahabat dari Rafael tidak lebih.
Lalu,
bagaimana jika mereka menyadari jika hubunganku dengan Rafael lebih dari
sekedar sahabat? Apa mereka masih mau menerimaku? “Iya. Mereka emang udah kenal
aku, tapi kan mereka tahunya kita sahabatan, Raf.”
“Nah, maka
itu. Kamu juga harusnya biasa aja.” Rafael membalas dengan santai. “Kamu tadi
udah shalat kan?” tanya Rafael berusaha mengalihkan. Aku mengangguk kecil.
“Udah berdo’a sama Allah kan?” sekali lagi, aku mengangguk kecil. “Yaudah jadi
santai aja.” Lanjutnya.
Ngomong-ngomong,
aku jadi ingat sesuatu. Aku segera menggeledah tas tangan yang ada di
pangkuanku, mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus rapi dengan sebuah sampul
berwarna coklat. “Buat kamu. Selamat merayakan natal ya.” Aku meletakkan benda
tersebut di dasbor mobil Rafael.
“Makasih
ya.” Balas Rafael tersenyum tipis. Ia mengehentikan laju mobilnya tepat di
depan rumahnya. Sebelum turun, Rafael sempat meraih benda berbungkus sampul
coklat tersebut. Membukanya dengan penuh semangat. “Al Kitab.” Rafael menatapku
bingung.
Yah. Al
Kitab. Aku sengaja memberinya sebuah kitab suci bagi kaum nasrani itu untuk
Rafael. Sekedar mengingatkan, bahwa kita memang saling mengerti. Saling
memahami, dan saling mengisi juga saling bertoleransi. “Kamu nggak risih di
lihatin mbak-mbak penjaga kasir, pake jilbab tapi belinya Al Kitab?” Rafael
sedikit menebak. Yah, rata-rata bukannya semua orang begitu? Merasa aneh dengan
orang yang tidak berkeyakinan dengan apa yang dibelinya?
“Biarin aja.
Toh itu kan buat kamu. Sekedar mengingatkan, kalau kamu juga harus rajin ke gereja,
berdo’a sama Tuhan dan sebelum tidur atau ada waktu luang, kamu bawa kitab suci
kamu itu. Pada dasarnya semua agama kan mengajarkan kita mengenai kebaikan.”
Balasku dengan senyum tipis.
“Kasih.
Makasih ya, udah hampir dua tahun ini kamu selalu bisa ngertiin aku. Kamu
selalu ngingetin aku buat ke gereja, kamu ingetin aku buat selalu baca Al
Kitab. Sebelumnya, aku belum pernah
nemuin gadis kaya kamu. Kita berbeda tapi kamu bisa buat perbedaan itu jadi
indah.” Rafael tersenyum tipis dan menatap mata gadis yang ada di sampingnya
itu.
“Harus Raf.
Bukan Cuma aku aja yang ngelakuin hal itu, tapi kamu juga kan? Kamu selalu
ingetin aku buat Shalat, buat ngaji, buat puasa dan juga buat berbuat baik.”
“Yaudah,
kalau gitu masuk yuk. Mama udah nunggu di dalam.” Ajak Rafael. Ia membuka pintu
mobil yang ada di sebelah kanannya begitu pun dengan ku, membuka pintu mobil di
sebelah kiriku.
Bismillahirrohmanirrohim.
Semoga semuanya hari ini lancar, Tuhan.
Rafael masuk
ke dalam rumahnya dengan diikutiku di belakangnya. Suasana rumah Rafael begitu
ramai, anak-anak kecil tengah asih dengan kegiatan bermain mereka, sementara
yang lebih besar berkumpul menjadi satu begitu pun dengan yang dewasa.
“Rafael, eh
ada Kasih juga.” Tante Gritte menyambutku juga Rafael dengan sebuah senyum
manis. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Selamat
merayakan natal ya Tante.” Ucapku yang mencium pipi kanan-kiri Tante Gritte.
“Makasih ya
Kasih, kamu udah mau nyempetin waktu buat dateng ke sini.” Balas Tante Gritte.
Wajahnya yang semakin menua masih terlihat cantik diusianya.
“Sama-sama
Tante, kebetulan kuliah kan libur.” Aku dan Tante Gritte memang sudah akrab.
Kedekatan kami sudah lebih dari sekedar ‘teman’ berbicara.
Tante Gritte
tertawa kecil. Ia tersenyum dan menatap Rafael yang ada di sampingku. “Raf,
Mama mau kenalin kamu sama seseorang.” Dengan senyum sumringah Tante Gritte
memberikan kabar tersebut pada Rafael. Perasaanku sendiri menjadi tidak enak.
Tuhan. Semoga saja tidak seperti yang ada dalam benakku.
“Siapa Ma?” tanya
Rafael singkat.
“Via.” Tante
Gritte memanggil seorang gadis yang iktu duduk bersama dengan anggota keluarga
Rafael yang lain. “Nah, Raf. Ini anak temen Mama, namanya Via. Dia baru aja
pulang dari Belanda.” Tante Gritte memperkenalkan Via pada putranya itu.
“Via.” Via
tersenyum manis dan mengulurkan tangannya pada Rafael.
“Rafael.”
Rafael balas menjabat tangan Via. Gadis ini begitu cantik, anggun dan terlihat
dewasa.
“Via.” Via
balas memperkenalkan dirinya padaku.
“Kasih.” Aku
membalasnya dengan senyum tipis.
“Pacarnya
Rafael ya?” deg! Jantungku serasa berhenti saat ini juga. Bagaimana dia bisa
membaca mengenai hubunganku dengan Rafael.
“Bukan, Via.
Kasih ini sahabatnya Rafael. Lagian mereka juga nggak mungkin pacaran. Iya kan
Raf, Sih.” Tante Gritte menjawabnya disertai meminta persetujuan padaku juga
Rafael.
Aku dan
Rafael saling pandang. “Hehehe, iya Tante. Lagian aku sama Rafael mana mungkin
pacaran.” Aku mengiyakan ucapan Tante Gritte. Menutupi hubungan yang telah kami
jalin sekitar dua bulan.
Ku lihat,
mata Rafael sedikit membulat tak percaya dengan apa yang telah kuucapkan
barusan. Tapi, ada benarnya juga apa kata Tante Gritte, aku dan Rafael tak
mungkin pacaran, tak seharusnya hubungan kami melebihi batas dari seorang
sahabat. Namun, aku telah melakukan kesalahan. Kenapa aku baru menyadari hal
itu? Kenapa tak sejak awal saja aku menyadari hal bodoh yang telah kujalani
hampir dua tahun ini.
“Oh ya Tan,
kayanya aku harus pulang. Mama barusan SMS katanya keluarga yang dari Surabaya
datang.” Aku sedikit berdusta setelah melihat layar handphone ku.
“Yaudah,
kalau gitu aku anter ya Sih.” Tawar Rafael.
“Nggak usah
Raf, makasih. Aku bisa pulang sendiri, nggak enak sama keluarga kamu yang lain
mereka kan kesini mau ngerayain natal bareng kamu dan juga yang lain. Via juga,
kamu harus temenin dia ya.” Aku berusaha tersenyum manis di depan Tante Gritte,
Rafael dan juga Via. “Tante, Via. Aku duluan ya.”Pamit ku yang mencium kedua
pipi wanita yang ada di depan ku ini.
“Hati-hati
ya Sih.” Pesan Tante Gritte tersenyum manis. Aku hanya membalasnya dengan
senyum. Meski hatiku merasakan perih, namun aku tak boleh menunjukkan itu semua
pada Rafael dan juga Tante Gritte. Aku harus bisa menjadi Kasih yang mereka
kenal ceria.
***
Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini
Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
Huuuuuu
Yang ada di tulus hati ku ingini
Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
Huuuuuu
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
Huuuuuu
Huuuuuu
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
Tuk menjaganya sepenuh jiwa oooh
Tuk menjaganya sepenuh jiwa oooh
(aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
(aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Lagu yang di
populerkan oleh marcel ini mengalun dari bibirku, diiringi dengan permainan
gitar akustik dari Bisma Karisma, salah seorang sahabat dari Rafael. Ia juga
anggota dari band kampus yang terdiri dari Rafael, Bisma, Morgan dan juga Liza.
Setiap minggunya,
kami memang selalu berkumpul di ruang kesenian ini, aku yang awalnya hanya menemani
Rafael untuk latihan kini malah ketagihan untuk mendatangi ruang kesenian. Dan siang
ini, Rafael belum keluar dari kelasnya, Liza dan Morgan juga. Sementara aku dan
Bisma yang memang sekelas memutuskan untuk langsung datang ke sini, aku dengan
isengpun meminta Bisma untuk mengiringiku dalam bernyanyi.
Lagu ini,
begitu tertancap di dalam hatiku. Perbedaan keyakinan membuat kami harus
menyembunyikan hubungan ini dari keluarga. Jujur, aku saat ini mulai tak bisa
mempertahankan lagi hubungan kami, terlebih sekarang ada Via yang ‘sengaja’ di
masukkan dalam hubungan kami.
Rasa sakit
itu masih membekas di hati ini saat Tante Gritte dengan senyum manisnya
memperkenalkan gadis cantik itu pada Rafael. Meskipun aku tahu, Rafael tak akan
memberikan hatinya pada Via, namun sebagai gadis yang menjadi kekasih Rafael,
rasa takut itu menyelimuti hatiku, bagaimana jika Rafael terperangkap dalam
lubang yang dibuat oleh Tante Gritte?
“Suara kamu
bagus.” Suara Rafael terdengar begitu jelas saat aku menyelesaikan lagu
tersebut. Aku hanya tersenyum tipis pada Rafael. Ia datang bersama dengan Liza
dan Morgan.
“Kamu masih
marah sama kejadian itu?” tanya Rafael menatap mataku penuh dengan kesedihan. Aku
tahu, Rafael memang paling tak bisa melihatku marah.
“Nggak kok
Raf. Buat apa aku marah? Toh, semua itu di luar rencana kan?” aku berusaha
untuk tersenyum di depan Rafael. Bukan marah memang, tapi sedikit takut. Takut kehilangan
Rafael.
“Kalau kamu
emang nggak marah, kamu harus mau nyanyi sama aku.” Pinta Rafael.
“Ha? Nggak ah.”
Aku menolaknya dengan cepat.
“Yaudah
kalau gitu aku yang marah.” Ancamnya yang mengalihkan pandangannya dariku.
“Iya, aku
mau.” Aku pasrah saja.
“Terus
posisi gue ceritanya di gantiin sama Kasih gitu?” Liza sok ngambek. Gadis yang
biasa mendapingi Rafael dalam bernyanyi ini pura-pura tak terima posisinya
tergeser olehku.
“Udah, lo
sama Morgan mojok aja sana.” Perintah Rafael dengan canda khasnya.
“Terus gue?”
Bisma menunjuk dirinya sendiri.
“Derita lo Lah.
Siapa suruh LDR-an. Hahaha” ledek Rafael.
“Sialan!”
Umpat Bisma yang memukul badan Rafael pelan. Rafael hanya tertawa kecil.
“Makanya
Bis, cari pacar yang deket.” Morgan menimpali.
“Serah lo
pada.” Bisma bangkit dari duduknya.
“Mau kemana
Bis?” tanyaku pada Bisma yang mulai berjalan meninggalkan ruang kesenian.
“Ke Bandung,
jemput pacar. Mau gue pamerin ke kalian, kalau pacar gue lebih cantik dari
pacarnya mereka berdua.” Ungkap Bisma kesal yang menunjuk kedua sahabat prianya
itu.
“Gidah sono.”
Usir Morgan.
“Terus lo
berdua ngapain di sini?” tanya Rafael pada Morgan dan juga Liza.
“Kita di
usir juga Yang.” Morgan bangkit dari duduknya dan membantu Liza untuk bangkit.
“Eh, gue
kasih tahu ya. Orang kalau berduaan di tempat sepi itu orang ketiganya setan. Jadi
nggak baek berduaan.” Liza sok menasehati.
“Eh pendek. Kan
gue bilang, lo berdua mojok di sana, bukan ninggalin gue berduaan sama Kasih di
sini. Lagian mana mungkin gue berduaan doang sama Kasih.” Balas Rafael yang
menunjuk sudut ruangan.
“Iya Bapak
Rafael, saya mengerti, permisi. Assalamualaikum.” Morgan langsung menggandeng
tangan kekasihnya itu sebelum akhirnya mengucapkan salam.
“Walaikumsalam.”
Balasku dan juga Rafael.
“Aku mau
nyanyi sama kamu, tapi lagunya Gita sama Derby yang cinta takkan salah.” Jelas
Rafael yang sudah memeluk gitar yang tadi di mainkan oleh Bisma.
“Oke. Tapi jangan
salahin aku kalau suara aku jelek dan nadanya kemana-mana.” Pintaku dengan
manja.
“Iya Kasih. Eh
tapi kamu udah shalat dzuhur belum?” Tanya Rafael yang memosisikan jemarinya
pada senar-senar gitar.
“Udah kok,
tenang aja.” Aku tersenyum. Rafael masih sama, ia masih suka mengingatkanku
untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim.
Ku kira benar, kau kira salah
Cinta berbeda kita tak sama
Tak pernah searah
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Ku bilang iya, kau bilang tidak
Selalu begitu tak pernah setuju
Tak pernah menyatu
Cinta berbeda kita tak sama
Tak pernah searah
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Ku bilang iya, kau bilang tidak
Selalu begitu tak pernah setuju
Tak pernah menyatu
Namun ternyata tak pernah ku kira
Di sini kita memulai cerita
Di sini kita memulai cerita
Reff:
Perbedaan jadi tidak berarti
Karena hati telah memilih
Di mataku kita berdua satu
Apapun yang mengganggu
Cinta takkan salah
Perbedaan jadi tidak berarti
Karena hati telah memilih
Di mataku kita berdua satu
Apapun yang mengganggu
Cinta takkan salah
Ku ingin yang ini, ku ingin yang lain
Coba tuk mengerti, coba tuk pahami
Saling melengkapi
Coba tuk mengerti, coba tuk pahami
Saling melengkapi
Kini ternyata tak pernah ku kira
Di sini kita memulai cerita
Di sini kita memulai cerita
“Raf, kenapa
kamu milih lagu ini?” tanyaku setelah selesai menyanyikan lagu tersebut dengan
Rafael.
“Tadi kamu
nyanyi lagu peri cintaku, dan aku pilih lagu ini karena...” Rafael terdiam
sebentar, menatap mataku dengan begitu dalam. “Kamu untuk aku, dan aku untuk
kamu. Jadi Tak ada yang salah dengan cinta kan?.” Lanjutnya tersenyum tipis.
“Tapi kita
beda Raf.” Aku langsung membantahnya dengan cepat.
“Perbedaan
itu nggak ada artinya, selama hati kita satu Sih.” Balas Rafael.
“Tetep aja
Rafael. Aku dan kamu nggak akan pernah jadi satu. Salah satu diantara kita
harus ada yang mengalah, dan aku yakin kita nggak akan mau ngalah.” Aku masih
keukeuh dengan pendapatku. Benar kan? Aku tak mungkin meninggalkan keyakinanku
begitupun dengan Rafael. Tuhan kita memang satu hanya saja keyakinan itu yang
membuat kami tak bisa bersatu.
Rafael
terdiam. Aku tahu, dalam hati kecilnya ia juga merasakan hal yang sama. Rasa ini,
mungkin memang sepantasnya di kubur dalam-dalam. Dan kami seharusnya memang
hanya sebatas sahabat. “Aku rasa, kita cukup sampai di sini Raf. Percuma di
pertahanin.” Putusku dengan putus asa.
“Aku nggak
mau!” Tolak Rafael mentah-mentah.
“Kita masih
bisa jadi sahabat. Aku sayang sama kamu, kamu sayang sama aku. Tapi biarkan aja
ini menjadi sebuah kenangan, kita nggak bisa kaya gini terus.” Aku mencoba
memberi sebuah jalan keluar.
Rafael
menghela nafas panjangnya. Sedikit merenung dengan apa yang kusampaikan
barusan. “Oke. Tapi aku nggak mau diantara kita ada yang saling melupakan. Gimana?”
Aku
tersenyum tipis. Mengangguk, mengiyakan permintaan Rafael. Aku tahu, rasa ini
memang sakit saat harus mengakhiri hubungan yang hampir dua tahun terjalin ini,
namun mau bagaimana lagi? Sebelum semuanya terlambat lebih baik kami sudahi
sampai di sini. Toh, kalau Tuhan memang memberikan kami kesempatan untuk bisa
terus ‘bersama’, Ia akan menyatukan kami dalam sebuah ikatan yang lebih suci
dan tentunya tanpa sebuah ‘perbedaan’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar