@Handa_titik

Ini hasil tulisan saya, inspirasi saya. selamat membaca, selamat mengambil sisi positif, yang negatif di buang saja jadikan pembelajaran bagi kita. semoga bermanfaat bagi saya, anda dan kita semua. terimakasih :) - @Handtik

Rabu, 24 April 2013

"Cinta Takkan Salah"




            Lantunan nada-nada indah dari ayat suci Al-Qur’an terdengar begitu jelas dari kamar ku, suara itu berasal masjid di tengah komplek. Subhanallah. Ayat-ayat suci Allah memang selalu menenangkan jiwa, mengantar tidur ku malam ini. Alhamdulillah, setiap malam sebelum beristirahat aku dan juga penghuni komplek selalu di sajikan dengan lantunan indah ayat-ayat suci Allah, kadang aku juga ikut berperan jika tidak terlalu lelah dengan aktifitas harianku, namun malam ini, aku terlalu lelah untuk mengikuti kegiatan masjid karena hari ini kegiatan organisasi di kampus begitu padat.
            Lantunan nada indah dari handphoneku membuatku mengurungkan niat untuk mengistirahatkan tubuhku. Rafael. Aku tersenyum tipis dan segera menekan tombol hijau untuk menyambungkan sambungan telfon yang dikirim oleh Rafael.
            “Malam Raf.” Aku menyapanya. Sapaan yang sesekali ingin ku ganti dengan sapaan ‘Assalamualaikum’ namun aku juga harus menghargainya. Kami berbeda, meskipun kami memiliki Tuhan yang sama.
            “Malam Kasih.” Balasnya di seberang sana. “Kamu udah shalat isya’?” aku menyukai sifat Rafael yang satu ini. Dia selalu menanyakan mengenai kewajibanku sebagai seorang muslimah. Dan jika aku belum melaksanakan hal yang satu itu, Rafael segera menyuruhku untuk menjalani kewajibanku itu.
            “Alhamdulillah udah. Eh iya. Kamu nggak ke gereja? Besok kan natal.” Saling menghargai dan saling mengingatkan. Itu lah, rahasia kelanggengan hubungan kami.
            “Udah. Baru pulang. Besok kamu dateng ya. Ada acara natalan di rumah, kumpul-kumpul sama keluarga.” Untuk kedua kalinya, Rafael mengajakku untuk datang keacara keluarganya. Tahun lalu, aku sudah menolaknya, rasanya tak enak jika tahun ini aku kembali menolaknya. Pasalnya saat lebaran lalu, Rafael berkunjung ke rumah.
Aku sering datang ke rumah Rafael begitupun sebaliknya, namun kami masih merahasiakan hubungan kami dari keluarga. Keluarga kami sama-sama menentang hubungan berbeda keyakinan. “Jam berapa?” tanya ku mencoba memastikan.
            “Jam satu siang aku jemput kamu.” Balas Rafael.
            “Oke.” Balasku dengan senyum yang tak mungkin dapat dilihatnya, namun aku percaya Rafael merasakannya.
            “Selamat malam, Kasih.” Balas Rafael sebelum ia memutuskan sambungan.
            “Malam, Rafael.” Balasku.
            Hampir dua tahun menjalin hubungan diam-diam, terkadang membuatku lelah.  Membuatku ingin segera mengakhiri hubungan ini. Namun, Rafael selalu meyakinkanku, bahwa Tuhan akan menyatukan kami. Dalam sebuah ‘persamaan’ meskipun kami ‘berbeda’. Aku sering tak yakin dengan hal itu. Rafael tak mungkin meninggalkan keyakinannya, begitupun denganku, namun cinta kami terlalu besar sehingga kami tak bisa meninggalkan satu sama lain.
            Semoga saja. Semoga kami bersatu, dalam sebuah persamaan meskipun banyak perbedaan yang ada di dalam diri kami. ‘God knows we’re worth it”.
***
            Hatiku bergetar tak menentu diikuti dengan detak jantung yang juga tak menentu. Kedua tanganku dingin. Ya Allah, untuk pertama kalinya aku menghadiri perayaan natal di keluarga Rafael. Dan pasti, semua keluarga Rafael berkumpul, tanpa terkecuali.
            “Kamu santai aja Sih. Kan Mama sama Papa juga udah tahu kamu.” Rafael mencoba menenangkanku. Yah, memang orang tua Rafael memang sudah mengenalku, tapi yang mereka tahu aku adalah sahabat dari Rafael tidak lebih.
            Lalu, bagaimana jika mereka menyadari jika hubunganku dengan Rafael lebih dari sekedar sahabat? Apa mereka masih mau menerimaku? “Iya. Mereka emang udah kenal aku, tapi kan mereka tahunya kita sahabatan, Raf.”
            “Nah, maka itu. Kamu juga harusnya biasa aja.” Rafael membalas dengan santai. “Kamu tadi udah shalat kan?” tanya Rafael berusaha mengalihkan. Aku mengangguk kecil. “Udah berdo’a sama Allah kan?” sekali lagi, aku mengangguk kecil. “Yaudah jadi santai aja.” Lanjutnya.
            Ngomong-ngomong, aku jadi ingat sesuatu. Aku segera menggeledah tas tangan yang ada di pangkuanku, mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus rapi dengan sebuah sampul berwarna coklat. “Buat kamu. Selamat merayakan natal ya.” Aku meletakkan benda tersebut di dasbor mobil Rafael.
            “Makasih ya.” Balas Rafael tersenyum tipis. Ia mengehentikan laju mobilnya tepat di depan rumahnya. Sebelum turun, Rafael sempat meraih benda berbungkus sampul coklat tersebut. Membukanya dengan penuh semangat. “Al Kitab.” Rafael menatapku bingung.
            Yah. Al Kitab. Aku sengaja memberinya sebuah kitab suci bagi kaum nasrani itu untuk Rafael. Sekedar mengingatkan, bahwa kita memang saling mengerti. Saling memahami, dan saling mengisi juga saling bertoleransi. “Kamu nggak risih di lihatin mbak-mbak penjaga kasir, pake jilbab tapi belinya Al Kitab?” Rafael sedikit menebak. Yah, rata-rata bukannya semua orang begitu? Merasa aneh dengan orang yang tidak berkeyakinan dengan apa yang dibelinya?
            “Biarin aja. Toh itu kan buat kamu. Sekedar mengingatkan, kalau kamu juga harus rajin ke gereja, berdo’a sama Tuhan dan sebelum tidur atau ada waktu luang, kamu bawa kitab suci kamu itu. Pada dasarnya semua agama kan mengajarkan kita mengenai kebaikan.” Balasku dengan senyum tipis.
            “Kasih. Makasih ya, udah hampir dua tahun ini kamu selalu bisa ngertiin aku. Kamu selalu ngingetin aku buat ke gereja, kamu ingetin aku buat selalu baca Al Kitab.  Sebelumnya, aku belum pernah nemuin gadis kaya kamu. Kita berbeda tapi kamu bisa buat perbedaan itu jadi indah.” Rafael tersenyum tipis dan menatap mata gadis yang ada di sampingnya itu.
            “Harus Raf. Bukan Cuma aku aja yang ngelakuin hal itu, tapi kamu juga kan? Kamu selalu ingetin aku buat Shalat, buat ngaji, buat puasa dan juga buat berbuat baik.”
            “Yaudah, kalau gitu masuk yuk. Mama udah nunggu di dalam.” Ajak Rafael. Ia membuka pintu mobil yang ada di sebelah kanannya begitu pun dengan ku, membuka pintu mobil di sebelah kiriku.
            Bismillahirrohmanirrohim. Semoga semuanya hari ini lancar, Tuhan.
            Rafael masuk ke dalam rumahnya dengan diikutiku di belakangnya. Suasana rumah Rafael begitu ramai, anak-anak kecil tengah asih dengan kegiatan bermain mereka, sementara yang lebih besar berkumpul menjadi satu begitu pun dengan yang dewasa.
            “Rafael, eh ada Kasih juga.” Tante Gritte menyambutku juga Rafael dengan sebuah senyum manis. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
            “Selamat merayakan natal ya Tante.” Ucapku yang mencium pipi kanan-kiri Tante Gritte.
            “Makasih ya Kasih, kamu udah mau nyempetin waktu buat dateng ke sini.” Balas Tante Gritte. Wajahnya yang semakin menua masih terlihat cantik diusianya.
            “Sama-sama Tante, kebetulan kuliah kan libur.” Aku dan Tante Gritte memang sudah akrab. Kedekatan kami sudah lebih dari sekedar ‘teman’ berbicara.
            Tante Gritte tertawa kecil. Ia tersenyum dan menatap Rafael yang ada di sampingku. “Raf, Mama mau kenalin kamu sama seseorang.” Dengan senyum sumringah Tante Gritte memberikan kabar tersebut pada Rafael. Perasaanku sendiri menjadi tidak enak. Tuhan. Semoga saja tidak seperti yang ada dalam benakku.
            “Siapa Ma?” tanya Rafael singkat.
            “Via.” Tante Gritte memanggil seorang gadis yang iktu duduk bersama dengan anggota keluarga Rafael yang lain. “Nah, Raf. Ini anak temen Mama, namanya Via. Dia baru aja pulang dari Belanda.” Tante Gritte memperkenalkan Via pada putranya itu.
            “Via.” Via tersenyum manis dan mengulurkan tangannya pada Rafael.
            “Rafael.” Rafael balas menjabat tangan Via. Gadis ini begitu cantik, anggun dan terlihat dewasa.
            “Via.” Via balas memperkenalkan dirinya padaku.
            “Kasih.” Aku membalasnya dengan senyum tipis.
            “Pacarnya Rafael ya?” deg! Jantungku serasa berhenti saat ini juga. Bagaimana dia bisa membaca mengenai hubunganku dengan Rafael.
            “Bukan, Via. Kasih ini sahabatnya Rafael. Lagian mereka juga nggak mungkin pacaran. Iya kan Raf, Sih.” Tante Gritte menjawabnya disertai meminta persetujuan padaku juga Rafael.
            Aku dan Rafael saling pandang. “Hehehe, iya Tante. Lagian aku sama Rafael mana mungkin pacaran.” Aku mengiyakan ucapan Tante Gritte. Menutupi hubungan yang telah kami jalin sekitar dua bulan.
            Ku lihat, mata Rafael sedikit membulat tak percaya dengan apa yang telah kuucapkan barusan. Tapi, ada benarnya juga apa kata Tante Gritte, aku dan Rafael tak mungkin pacaran, tak seharusnya hubungan kami melebihi batas dari seorang sahabat. Namun, aku telah melakukan kesalahan. Kenapa aku baru menyadari hal itu? Kenapa tak sejak awal saja aku menyadari hal bodoh yang telah kujalani hampir dua tahun ini.
            “Oh ya Tan, kayanya aku harus pulang. Mama barusan SMS katanya keluarga yang dari Surabaya datang.” Aku sedikit berdusta setelah melihat layar handphone ku.
            “Yaudah, kalau gitu aku anter ya Sih.” Tawar Rafael.
            “Nggak usah Raf, makasih. Aku bisa pulang sendiri, nggak enak sama keluarga kamu yang lain mereka kan kesini mau ngerayain natal bareng kamu dan juga yang lain. Via juga, kamu harus temenin dia ya.” Aku berusaha tersenyum manis di depan Tante Gritte, Rafael dan juga Via. “Tante, Via. Aku duluan ya.”Pamit ku yang mencium kedua pipi wanita yang ada di depan ku ini.
            “Hati-hati ya Sih.” Pesan Tante Gritte tersenyum manis. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Meski hatiku merasakan perih, namun aku tak boleh menunjukkan itu semua pada Rafael dan juga Tante Gritte. Aku harus bisa menjadi Kasih yang mereka kenal ceria.
***
Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini
Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
Huuuuuu
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai
Huuuuuu
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Bukankah cinta anugerah berikan aku kesempatan
Tuk menjaganya sepenuh jiwa oooh
(aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
(aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda)
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

            Lagu yang di populerkan oleh marcel ini mengalun dari bibirku, diiringi dengan permainan gitar akustik dari Bisma Karisma, salah seorang sahabat dari Rafael. Ia juga anggota dari band kampus yang terdiri dari Rafael, Bisma, Morgan dan juga Liza.
            Setiap minggunya, kami memang selalu berkumpul di ruang kesenian ini, aku yang awalnya hanya menemani Rafael untuk latihan kini malah ketagihan untuk mendatangi ruang kesenian. Dan siang ini, Rafael belum keluar dari kelasnya, Liza dan Morgan juga. Sementara aku dan Bisma yang memang sekelas memutuskan untuk langsung datang ke sini, aku dengan isengpun meminta Bisma untuk mengiringiku dalam bernyanyi.
            Lagu ini, begitu tertancap di dalam hatiku. Perbedaan keyakinan membuat kami harus menyembunyikan hubungan ini dari keluarga. Jujur, aku saat ini mulai tak bisa mempertahankan lagi hubungan kami, terlebih sekarang ada Via yang ‘sengaja’ di masukkan dalam hubungan kami.
            Rasa sakit itu masih membekas di hati ini saat Tante Gritte dengan senyum manisnya memperkenalkan gadis cantik itu pada Rafael. Meskipun aku tahu, Rafael tak akan memberikan hatinya pada Via, namun sebagai gadis yang menjadi kekasih Rafael, rasa takut itu menyelimuti hatiku, bagaimana jika Rafael terperangkap dalam lubang yang dibuat oleh Tante Gritte?
            “Suara kamu bagus.” Suara Rafael terdengar begitu jelas saat aku menyelesaikan lagu tersebut. Aku hanya tersenyum tipis pada Rafael. Ia datang bersama dengan Liza dan Morgan.
            “Kamu masih marah sama kejadian itu?” tanya Rafael menatap mataku penuh dengan kesedihan. Aku tahu, Rafael memang paling tak bisa melihatku marah.
            “Nggak kok Raf. Buat apa aku marah? Toh, semua itu di luar rencana kan?” aku berusaha untuk tersenyum di depan Rafael. Bukan marah memang, tapi sedikit takut. Takut kehilangan Rafael.
            “Kalau kamu emang nggak marah, kamu harus mau nyanyi sama aku.” Pinta Rafael.
            “Ha? Nggak ah.” Aku menolaknya dengan cepat.
            “Yaudah kalau gitu aku yang marah.” Ancamnya yang mengalihkan pandangannya dariku.
            “Iya, aku mau.” Aku pasrah saja.
            “Terus posisi gue ceritanya di gantiin sama Kasih gitu?” Liza sok ngambek. Gadis yang biasa mendapingi Rafael dalam bernyanyi ini pura-pura tak terima posisinya tergeser olehku.
            “Udah, lo sama Morgan mojok aja sana.” Perintah Rafael dengan canda khasnya.
            “Terus gue?” Bisma menunjuk dirinya sendiri.
            “Derita lo Lah. Siapa suruh LDR-an. Hahaha” ledek Rafael.
            “Sialan!” Umpat Bisma yang memukul badan Rafael pelan. Rafael hanya tertawa kecil.
            “Makanya Bis, cari pacar yang deket.” Morgan menimpali.
            “Serah lo pada.” Bisma bangkit dari duduknya.
            “Mau kemana Bis?” tanyaku pada Bisma yang mulai berjalan meninggalkan ruang kesenian.
            “Ke Bandung, jemput pacar. Mau gue pamerin ke kalian, kalau pacar gue lebih cantik dari pacarnya mereka berdua.” Ungkap Bisma kesal yang menunjuk kedua sahabat prianya itu.
            “Gidah sono.” Usir Morgan.
            “Terus lo berdua ngapain di sini?” tanya Rafael pada Morgan dan juga Liza.
            “Kita di usir juga Yang.” Morgan bangkit dari duduknya dan membantu Liza untuk bangkit.
            “Eh, gue kasih tahu ya. Orang kalau berduaan di tempat sepi itu orang ketiganya setan. Jadi nggak baek berduaan.” Liza sok menasehati.
            “Eh pendek. Kan gue bilang, lo berdua mojok di sana, bukan ninggalin gue berduaan sama Kasih di sini. Lagian mana mungkin gue berduaan doang sama Kasih.” Balas Rafael yang menunjuk sudut ruangan.
            “Iya Bapak Rafael, saya mengerti, permisi. Assalamualaikum.” Morgan langsung menggandeng tangan kekasihnya itu sebelum akhirnya mengucapkan salam.
            “Walaikumsalam.” Balasku dan juga Rafael.
            “Aku mau nyanyi sama kamu, tapi lagunya Gita sama Derby yang cinta takkan salah.” Jelas Rafael yang sudah memeluk gitar yang tadi di mainkan oleh Bisma.
            “Oke. Tapi jangan salahin aku kalau suara aku jelek dan nadanya kemana-mana.” Pintaku dengan manja.
            “Iya Kasih. Eh tapi kamu udah shalat dzuhur belum?” Tanya Rafael yang memosisikan jemarinya pada senar-senar gitar.
            “Udah kok, tenang aja.” Aku tersenyum. Rafael masih sama, ia masih suka mengingatkanku untuk menunaikan kewajibanku sebagai muslim.
Ku kira benar, kau kira salah
Cinta berbeda kita tak sama
Tak pernah searah
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Ku bilang iya, kau bilang tidak
Selalu begitu tak pernah setuju
Tak pernah menyatu
Namun ternyata tak pernah ku kira
Di sini kita memulai cerita
Reff:
Perbedaan jadi tidak berarti
Karena hati telah memilih
Di mataku kita berdua satu
Apapun yang mengganggu
Cinta takkan salah
Ku ingin yang ini, ku ingin yang lain
Coba tuk mengerti, coba tuk pahami
Saling melengkapi
Kini ternyata tak pernah ku kira
Di sini kita memulai cerita

            “Raf, kenapa kamu milih lagu ini?” tanyaku setelah selesai menyanyikan lagu tersebut dengan Rafael.
            “Tadi kamu nyanyi lagu peri cintaku, dan aku pilih lagu ini karena...” Rafael terdiam sebentar, menatap mataku dengan begitu dalam. “Kamu untuk aku, dan aku untuk kamu. Jadi Tak ada yang salah dengan cinta kan?.” Lanjutnya tersenyum tipis.
            “Tapi kita beda Raf.” Aku langsung membantahnya dengan cepat.
            “Perbedaan itu nggak ada artinya, selama hati kita satu Sih.” Balas Rafael.
            “Tetep aja Rafael. Aku dan kamu nggak akan pernah jadi satu. Salah satu diantara kita harus ada yang mengalah, dan aku yakin kita nggak akan mau ngalah.” Aku masih keukeuh dengan pendapatku. Benar kan? Aku tak mungkin meninggalkan keyakinanku begitupun dengan Rafael. Tuhan kita memang satu hanya saja keyakinan itu yang membuat kami tak bisa bersatu.
            Rafael terdiam. Aku tahu, dalam hati kecilnya ia juga merasakan hal yang sama. Rasa ini, mungkin memang sepantasnya di kubur dalam-dalam. Dan kami seharusnya memang hanya sebatas sahabat. “Aku rasa, kita cukup sampai di sini Raf. Percuma di pertahanin.” Putusku dengan putus asa.
            “Aku nggak mau!” Tolak Rafael mentah-mentah.
            “Kita masih bisa jadi sahabat. Aku sayang sama kamu, kamu sayang sama aku. Tapi biarkan aja ini menjadi sebuah kenangan, kita nggak bisa kaya gini terus.” Aku mencoba memberi sebuah jalan keluar.
            Rafael menghela nafas panjangnya. Sedikit merenung dengan apa yang kusampaikan barusan. “Oke. Tapi aku nggak mau diantara kita ada yang saling melupakan. Gimana?”
            Aku tersenyum tipis. Mengangguk, mengiyakan permintaan Rafael. Aku tahu, rasa ini memang sakit saat harus mengakhiri hubungan yang hampir dua tahun terjalin ini, namun mau bagaimana lagi? Sebelum semuanya terlambat lebih baik kami sudahi sampai di sini. Toh, kalau Tuhan memang memberikan kami kesempatan untuk bisa terus ‘bersama’, Ia akan menyatukan kami dalam sebuah ikatan yang lebih suci dan tentunya tanpa sebuah ‘perbedaan’

Selasa, 23 April 2013

Kesalahan Terindah



            “Bismaaa....” teriakan memekikkan terlinga itu berasal dari fans seorang Bisma Karisma, atau yang lebih dikenal dengan Bisma SM*SH. Sedikit miris melihat sekaligus mendengarnya, karena tangisan itu pecah dari bibirnya. Aku, salah satu diantara fans dari Bisma Karisma, namun aku selalu mencoba untuk menahan rasa senang yang meletup-letup di dalam diri ini, meskipun hal yang sama juga ada dalam ujung keinginanku untuk berteriak menyuarakan namamu, Bisma.
            Tuhan, ini kali pertamanya aku bertemu dengannya, bertemu sosok pria yang mampu mengalihkan sistem kerja otakku dari segala hal. Senyum manisnya, mata indahnya, kata-kata bijaknya dan rasa sayangnya terhadap orang-orang disekelilingnya membuatku makin merasakan sebuah rasa kagum lebih dari sekedar fans terhadap idola.
            Sebelumnya, tak pernah terbayangkan dalam hidupku bisa bertemu dengan pria yang mampu membuat hati ribuan gadis ini berbunga-bunga, meskipun pertemuan kami berawal dari sebuah layar kaca. Dan hanya aku-lah yang menyadari betapa besar rasa yang tiba-tiba tumbuh di dalam hati itu. Yah, meskipun pertemuan kita selalu terjadi dengan dibatasi sebuah dinding kaca yang menampilkan dirinya di dalam sana, dan aku menatapnya penuh kagum dari sini.
            Kicaunnya di akun twitter mau tak mau selalu menjadi pusat perhatianku, setiap aktifitas yang dilakukannya yang tak pernah bisa kulihat secara langsung bisa ku pantau lewat akun tersebut. Meskipun, tak setiap saat ia memunculkan dirinya di dalam layar handphone ku.
            Begitu banyak orang yang mencintainya, namun tak sedikit orang yang membencinya. Banyak orang yang memujanya dengan penuh rasa bangga, namun tak sedikit yang mencaci-maki penuh iri pada dirinya. Tapi Bisma, ia masih bisa tersenyum, melapangkan dadanya dalam menerima setiap hinaan yang selalu mampir dalam kehidupannya.
            Cinta Bismaniac yang membuat Bisma bertahan. Sering kali aku mendengar kalimat tersebut, dan aku percaya bahwa hal itu memang benar adanya. Seringkali, tubuh Bismaniac hancur karena masalah sepele, namun Bisma selalu mencoba menenangkan dengan sifat dewasa dan bijaksananya ia, dengan senyum yang selalu terulas manis di bibirnya namun terlihat jelas di dalam hatinya merasakan sebuah kesedihan karena para kekasihnya itu terluka karena hal yang sepele.
            Karisma. Nama adalah Do’a. Dan nama indah itulah yang membuat pesona Bisma tak pernah luntur, selain sifat dan sikapnya yang dewasa, nama itu mungkin juga berperan penting dalam hidupnya. Karisma. Yah, karisma dari seorang Bisma Karisma tak pernah luntur, membuat aku tak bisa berpaling dari sosoknya. Mungkin bukan Cuma aku saja, namun juga para penggemar Bisma yang lain. Meskipun terkadang hati ku dan juga para kekasih Bisma yang lain merasakan sakit saat pria pujaan hati ku ini menggandeng tangan gadis lain, namun rasa sakit itu seolah tak menjadi alasan bagi kami untuk move on darinya.        Tuhan. Engkau menciptakan sosok pria yang begitu sempurna untukku dan juga para kekasih Bisma yang lain. Meskipun tangan kami tak dapat menjabat tangannya secara langsung. Meskipun kamu hanya melihat senyum manisnya lewat layar Televisi, dan meskipun kami hanya mengetahui kegiatannya lewat sosial media.
            Kalau boleh jujur, rasa itu bisa dikatakan lebih dari sekedar kagum. Mungkin saja, rasa itu cinta. Bagaimana tidak? Hatiku merasakan sakit saat mengetahui dirinya tak berstatus ‘single’, hatiku merasakan sakit saat aku mengetahui ia dekat dengan gadis lain.
            Tuhan. Jika benar rasa itu cinta, dan jika rasa ini salah. Aku sangat berharap ini menjadi kesalahan terindah dalam hidupku. Aku mencintainya terlalu melewati batas, Tuhan. Aku menginginkannya dalam pelukku, meskipun aku tahu, ia takkan bisa ada dalam pelukku. Aku ingin ia mencurahkan segala rasa lelahnya setiap ia selesai melakukan aktifitasnya, namun kenyataannya takkan pernah bisa karena aku dan ia berada ‘jauh’.
            Rasa ini benar-benar salah. Aku dan dia berbeda. Aku dan dia tak pernah bisa bersatu, meskipun rasa ingin itu begitu membumbung tinggi dalam anganku. Rasa cinta ini, cinta yang hanya bisa kurasakan meskipun tak pernah sama dengan rasa cinta yang dimilikinya.
            Seringkali ia mampir dalam tidurku, memberikan senyum manisnya, menjabat tangannya, berbincang dengan penuh canda dengannya. Oh... Tuhan, rasanya aku tak ingin terbangu. Aku ingin selalu berada di dekatnya, aku ingin hidup di dalam karena disana aku bisa merasa sangat dekat dengannya.
            Teruntuk Charismatic Prince-ku. Jangan pernah kau meninggalkanku juga orang-orang yang mencintaimu. Tetaplah menjadi Bisma Karisma yang ku kenal. Tetaplah menjadi Bisma yang rendah hati dan juga mencintaiku serta ‘kekasih-kekasihmu’ yang lain. Aku percaya cintamu untukku dan juga untuk gadis-gadis di luar sana sama besarnya. Aku, dia dan mereka mencintaimu, Bisma Karisma. Rasa sayang kamu akan selalu tertanam di dalam hati ini.
WE HEART YOU BISMA KARISMA


Senin, 22 April 2013

Di Saat Rindu Itu Menyapa


Aku berjalan dengan kesal saat menyusuri koridor kampus. Otakku sedari tadi tidak terarah pada penjelasan dosen, bahkan aku seringkali mendapat teguran dari para dosen yang mengajar di kelas. Dan ini semua, karena otakku yang sibuk dengan bayang-bayangmu. Sedari semalam, bayang-bayangmu selalu memenuhi otakku, hingga kau pun datang pada mimpiku. Sebegitu rindukah aku padamu?
            Seharusnya, rasa rindu itu tidak ada, jika rasa cinta itu tidak tumbuh di hatiku. Seharusnya, rasa cinta itu tidak tumbuh diam-diam di dalam hatiku jika aku tidak terlalu GR dengan semua perhatian dan canda yang menghiasi hari kita dulu. Dan seharusnya, aku bisa melupakanmu dalam waktu yang hampir satu tahun berlalu ini.
            Rasa cinta itu tumbuh hanya dalam hatiku, diam-diam mulai mengalir di dalam aliran darahku, dan diam-diam tanpa sebuah pertemuan pun aku masih saja memikirkanmu, membayangkan sosokmu ada di depan mataku, memberikan ku semangat di saat aku mulai menyerah, memberikanku sebuah senyuman di saat aku mulai lelah menjalani hari yang hanya di penuhi dengan rutinitas kuliah.
            Mungkin, rasaku terkadang bisa menghilang seiring dengan waktu yang berlalu, seiring dengan kegiatan organisasi kampus yang begitu segudang, namun di saat malam, di saat kesendirian itu menimpa hidupku dan di saat aku mulai bosan dengan tumpukan kertas yang begitu memuakkan itu, tiba-tiba sosokmu muncul dengan sebuah senyum manis, dengan sebuah kalimat penyemangat. Tapi, itu semua hanya ilusi, ilusi yang hanya ada di dalam imajinasiku. Kenyataannya, berbanding terbalik, mungkin mengingatku saja kau tak pernah, apalagi terlintas dalam pikiranmu untuk memasukkanku di dalam ruang hidupmu.
            Lewat layar handphone ini, aku memantau setiap kegiatan mu. Setiap kicauan yang kau lontarkan. Terkadang rasa cemburu itu hinggap di saat aku melihatmu berkicau manis dengan gadis yang berhasil membuatmu terjerat dalam lubang cinta. Aku selalu berharap jika suatu saat aku lah yang menjadi gadis beruntung itu, bisa membuatmu terjatuh dalam lubang cinta yang telah ku buat untukmu. Namun, sampai saat ini, lubang itu masih saja kosong dengan sosokmu, ia hanya bisa memanggilmu dari dalam dan menunggu kau datang untuk sekedar mendengarnya.
            Cinta tak harus memiliki. Cinta akan membuatmu bahagia jika melihat seseorang yang kita cinta bahagia meskipun cinta itu tidak hidup bersama dengan kita. Aku muak dengan kata-kata itu. Aku muak dengan kalimat yang membuat seseorang menyerah dengan rasa cintanya yang seharusnya di perjuangkan. Bukankah cinta itu harus di perjuangkan, meskipun hasilnya tak seperti yang di harapkan? Intinya kan, bagaimana kita menunjukkan rasa cinta kita pada seseorang yang kita sayang.
            Aku selalu mencoba menunjukkan rasa sayangku padanya, saat kami masih bisa bersama, namun dia selalu saja tak bisa melihat apa yang seharusnya ia lihat. Karena ia lebih terfokus pada gadis yang jauh lebih pintar menarik hatinya.
            Dan saat ini, aku dan dia tak lagi menjalin komunikasi, semenjak kami melepas atribut SMA. Melepas masa-masa putih abu-abu yang begitu penuh kenangan. Kenangan manis dan segala haru biru yang ada di dalamnya.
            Masa putih abu-abu memberikanku segalanya. Keluarga, dan juga rasa cinta untuknya meskipun rasa itu tak tebalas sampai saat ini. meskipunseringkali rindu itu menyapa di setiap hening malam, namun aku tetap mencintai masa itu. Masa di mana aku selalu menjadi diriku sendiri, masa dimana aku mencintainya secara diam-diam, dan sampai saat ini.